Sabtu, 16 Oktober 2010

Hubungan Hakiki Penguasa-Rakyat

Masalah hubungan penguasa dengan rakyat sudah menjadi bahasan manusia sejak manusia hidup berkelompok dan munculnya pemimpin dan pihak yang dipimpin. Islam sendiri juga banyak membahas tentang masalah ini. Banyak nash baik al-Quran maupun hadis yang membicarakan masalah ini. Islam menjelaskan bagaimana posisi penguasa dan rakyat, satu terhadap yang lain. Islam juga menjelaskan tugas dan kewajiban penguasa dan hak-hak mereka terhadap rakyat. Di sisi lain, Islam menjelaskan apa yang menjadi hak-hak rakyat dari penguasa dan apa yang menjadi kewajiban rakyat kepada penguasa. Islam juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh rakyat ketika penguasanya menyimpang dari yang seharusnya, menyalahi fungsi dan perannya serta mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Islam pun memberikan dorongan agar penguasa mewujudkan dirinya seperti yang dituntut. Islam menjelaskan keutamaan dan kemuliaan yang akan diperoleh penguasa yang adil di dunia dan pahala, keridhaan Allah dan kenikmatan yang akan dia peroleh di akhirat. Sebaliknya, Islam juga memperingatkan penguasa agar tidak menjelma menjadi sosok zalim. Islam menjelaskan berbagai keburukan, kenistaan dan kehinaan yang akan menimpanya di dunia serta dosa, murka Allah dan siksaan pedih yang akan dia rasakan di akhirat.
Islam mendatangkan paradigma yang unik tentang posisi penguasa. Islam mengibaratkan penguasa itu sebagai penggembala dan rakyat sebagai pihak yang digembalakan. Nabi saw. bersabda:
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pemelihara dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan mereka. (HR al-Bukhari).
Nabi saw. juga pernah bersabda:
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu’aim).
Dua hadis ini selain menjelaskan posisi penguasa, juga mengilustrasikan tugas, fungsi dan peran mereka dengan sangat indah. Penguasa diibaratkan seorang penggembala (râ’in) dan pelayan (khâdim) rakyatnya. Seorang penggembala akan senantiasa memperhatikan dan memelihara kepentingan gembalaannya; mencarikan makanan dan minuman yang baik; memperhatikan kesehatan, menjaga dan melindunginya dari terkaman serigala dan segala marabahaya yang bisa mencelakakan gembalaannya. Sebagai pelayan, penguasa bertugas melayani kepentingan rakyat, memenuhi kemaslahatannya, memberikan bantuan dan meringankan kehidupan rakyatnya. Jadi, tugas penguasa (pemimpin) adalah memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya dan menyejahterakan mereka.
Fakta menunjukkan tidak adanya kesatuan entitas penguasa dengan rakyat ataupun hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Yang tampak adalah hubungan pertentangan dan ketidaksukaan; di dalamnya tidak terlihat adanya keintiman. Realitas demikian bisa menyebabkan lemahnya negara dan lemahnya entitas umat. Karena rakyat tanpa adanya pemelihara akan menjadi entitas yang lemah. Sebaliknya, penguasa (negara) tanpa rakyat yang solid berdiri di belakangnya akan membuat eksistensinya lemah, mudah digoyang dan mudah terjerumus bekerjasama dan meminta bantuan musuh-musuh umat.
Akibatnya, banyak kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang terabaikan atau sengaja diabaikan. Kepentingan rakyat itu lebih sering dijadikan dagangan politik. Pikiran dan perhatian penguasa (pemimpin) dan politisi lebih untuk mempertahankan kekuasaan dan kursi. Pelayanan dan pengurusan kepentingan rakyat hanya menjadi janji politik yang jauh dari realita.
Kenyataan keterpisahan antara penguasa dan rakyat ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan ideologi Kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Doktrin Kapitalisme menyatakan peran negara dalam mengurus kepentingan umum harus seminimal mungkin. Konsekuensinya, negara (pemerintah) tidak memperhatikan kepentingan masyarakat.
Sistem politik demokrasi tidak lain merupakan industri politik. Untuk menjalankan mesin politik memerlukan modal besar. Hal itu meniscayakan kolaborasi politisi dan penguasa dengan para pemilik modal, juga meniscayakan diutamakannya kepentingan pemilik modal dari pada kepentingan rakyat, karena rakyat tidak bisa memodali jalannya mesin politik. Sistem industri politik itu berkonsekuensi melahirkan sistem korporatokrasi (negara korporat). Akibatnya, penguasa (pemerintah) lebih banyak memposisikan dan memerankan diri sebagai pedagang dan memposisikan rakyat sebagai pembeli.
Realita yang ada itu menunjukkan bahwa pemerintah (penguasa) bukannya memelihara kepentingan rakyat, tetapi justru menzalimi rakyat dan tidak menyayangi mereka. Penguasa demikian dinilai Nabi saw. sebagai seburuk-buruknya penguasa. Nabi saw. bersabda:
Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah al-Hathamah (mereka yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka) (HR Muslim).
Pada kondisi demikian, penting dirumuskan bagaimana rakyat harus menyikapi pemimpin dan penguasa mereka yang zalim. Dalam hal ini, Rasul saw. melarang kita untuk membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka. Hudzaifah dan Nu’man bin Basyir menuturkan, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Sungguh, akan ada para pemimpin (penguasa) yang berbohong dan zalim. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka ia bukan golonganku dan aku bukan golongannya; ia tidak akan menemaniku di Telaga al-Kautsar. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya; ia akan menemaniku menikmati Telaga al-Kautsar (HR Ahmad).
Nabi saw. pun pernah bersabda:
Akan ada pada akhir zaman, para pemimpin (penguasa) zalim, para wazir fasik, para hakim khianat dan fukaha pembohong. Siapa saja dari kalian yang menjumpai zaman itu janganlah menjadi bagi mereka sebagai pemungut pendapatan, expert (penasihat), polisi dan bendahara mereka (HR ath-Thabrani dan al-Baghdadi).
Rusaknya pemimpin ini pada galibnya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan rusaknya golongan lain, yaitu ulama dan cendekiawan. Ibn al-Azraq di dalam Badâ’i as-Salk fî Thabâ’i’ al-Malik berkata:
Ketahuilah, pada galibnya kerusakan salah satu kelompok eksistensinya berkaitan dengan kerusakan kelompok yang lain. Karena itu, bencana bagi masyarakat menjadi berlipat. Abu Marwan bin Hayan berkata dalam hal ini, “Kesengsaraan manusia sejak diciptakan terus saja pada dua kelompok dari mereka. Kedua kelompok itu bagaikan garam di tengah masyarakat, yaitu para pemimpin dan fukaha.”
Penguasanya diktator, menyimpang dari jalan yang seharusnya, bukannya mewujudkan kesatuan jamaah, tetapi malah menciptakan perpecahan. Adapun fukaha dan imam-imam mereka diam saja dan berpaling dari kewajiban yang telah ditegaskan Allah terhadap mereka dalam memberikan penjelasan hukum. Mereka telah menjadi orang yang menikmati kue penguasa dan terjerembab di hawa nafsu mereka; atau yang merasa takut kepada penguasa dan melakukan taqiyah di dalam membenarkan penguasa.
Eksisnya penguasa zalim saat ini, selain karena ideologi Kapitalisme dan sistem politik demokrasi yang dijadikan pedoman dan diterapkan, juga karena dua faktor penting: (1) karena umat tidak menyadari bahwa merekalah sumber dan pemilik kekuasaan; (2) karena muhâsabah al-hukâm (koreksi terhadap penguasa) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini ulama dan cendekiawan memainkan peranan vital dan memiliki tanggung jawab lebih daripada masyarakat umumnya. Celakanya, sebagian mereka justru mendukung penguasa zalim. Mereka mencari kedudukan dan jabatan, menjadi penasihat atau orang upahan yang mempercantik aktivitas penguasa. Mereka menopang penguasa dengan kedua tangannya, tidak malu untuk menakwilkan nash, menghegemoni media, menyampaikan puja-puji kepada penguasa dan melekatkan segala kebaikan kepada penguasa. Di sisi lain, tidak sedikit ulama yang diam saja dan tidak melakukan perubahan; puas dengan shalat dan ritual yang mereka laksanakan. Kalaupun memberi peringatan, terasa hambar karena diulang-ulang dan tidak nyambung dengan realita keumatan. Mereka lebih suka menahan diri dan tidak mau menyingkap kerusakan sistem dan jati diri penguasa yang zalim. Mereka menjustifikasinya dengan QS al-Baqarah: 195. Kalau mereka memuji penguasa, itu dianggap sebagai taqiyah.
Hendaknya mereka ingat pertanyaan Imam Ahmad bin Hanbal, “Jika seorang alim menjawab secara taqiyah, sedangkan orang yang jahil tetap bodoh, lalu kapan kebenaran akan menjadi jelas?”
Imam al-Ghazali di dalam bab keenam Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn mengatakan, “Adapun yang pertama, yaitu menemui para penguasa, maka itu sangat dicela di dalam syariah dan terdapat penegasan atasnya di dalam berbagai khabar dan atsar.”
Kemudian beliau menukilkan berbagai khabar dan atsar itu, di antaranya hadis di atas. Wuhaib berkata, “Mereka, ulama yang menemui para raja (penguasa), lebih membahayakan umat daripara penjudi.”
Muhamamd bin Maslamah mengatakan, “Lalat yang hinggap di atas kotoran lebih baik daripada seorang qari’ (ulama) yang berada di pintu-pintu penguasa.”
Kemudian Imam al-Ghazali mengatakan, “Ulama yang menemui penguasa akan terjerumus bermaksiat kepada Allah dengan perbuatan, diam, perkataan atau itikadnya; ia tidak bisa terlepas dari salah satunya.”
Ketika ulama dan cendekiawan asyik-masyuk menemui penguasa, menikmati segala hidangan dan fasilitas yang disodorkan kepadanya, lalu ia diam tidak menjelaskan hukum dan tidak menasihati penguasa itu, apalagi jika ia mendoakan penguasa itu agar tetap berkuasa maka perbuatan diam dan doanya itu akan dijadikan justifikasi bagi penguasa dan mendorongnya bertindak lebih jauh lagi.
Untuk mengatasi keterpisahan penguasa dari rakyat sekaligus menyatukan penguasa dan rakyat di dalam entitas yang satu maka umat, terutama para ulama dan cendekiawan, harus ada muhâsabah al-hukam (mengoreksi penguasa). Ulama dan cendekiawan harus menjelaskan hukum syariah apa adanya tanpa diperlunak, tidak dipermanis, tidak menjilat dan tidak pula bermanis muka. Nabi saw. bersabda:
Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat yang haq di depan penguasa yang zalim (HR Ahmad).
Ulama dan cendekiawan pun harus menjelaskan kepada umat segala realita yang terjadi dan bagaimana solusi Islam atasnya. Dengan begitu, akan terbentuk dalam diri umat pemahaman terhadap sistem Islam. Di samping itu, umat harus disadarkan bahwa mereka adalah sumber dan pemilik kekuasaan.
Saatnya sudah tiba bagi umat untuk mengakhiri penyerahan kekuasaan kepada para pemimpin zalim. Sebaliknya, sudah tiba pula saatnya umat menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang taat pada syariah, adil dan memperhatikan kepentingan mereka. Berdasarkan pemahaman dan kesadaran umat itu, umat akan berhasil dihimpun, berikutnya akan berhasil dibangun pemerintahan berlandaskan ide dan konsepsi Islam itu. Dengan begitu, kesatuan umat dan penguasa di dalam entitas ang satu akan kembali eksis. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Tidak ada komentar :

Posting Komentar