Pendahuluan
Salah
satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari
sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari
nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam
pandangan syara`. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak
seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa dizaman modern ini pintu
rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber
yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pesimistik. Tidak masuk akal, Allah
memerintahkan hamba-Nya mencari jalan hidup yang bersih sementara pintu halal
itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan hilah
(dalih) untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang
jauh dan menghalalkan segala cara.
Akhir-akhir
ini pembicaraan seputar kejahatan korupsi menghangat kembali terkait terkuaknya
skandal Bank Century yang merugikan keuangan negara sebesar 6,7 Triliun Rupiah.
Angka yang tak sedikit dan cukup fantastis … !! Namun ada problem lain yang
lebih “memilukan” dari sekedar raibnya 6,7 Triliun Rupiah, yakni degradasi
moral yang terjadi pada bangsa ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan
negeri dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun perkara yang sangat
dilematis tengah dihadapi bangsa ini, kejahatan korupsi subur disegala bidang
dan lapisan masyarakat. Bahkan tidak tanggung-tanggung pejabat sekelas menteri
agama-pun pernah ada yang terlibat dalam kasus korupsi. Dimana letak
nilai-nilai Islam? Apakah ajaran agama ini tidak mampu membendung perilaku
umatnya agar meninggalkan perkara yang merusak tatanan sosial?
MEMAHAMI KORUPSI
Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang
atau harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan
pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu
jabatan dalam pemerintahan. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering
disebut ‘al-fasad’ atau ‘risywah’. Tetapi yang lebih spesifik,
ialah “ikhtilas” atau “nahb al-amwal al-`ammah”.
Korupsi
adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan
cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi
memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi
dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri. Terlepas dari itu semua,
korupsi apa pun jenisnya merupakan perbuatan yang haram. Nabi saw. menegaskan: “Barang
siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari
golongan kami “ (HR Thabrani dan al-Hakim). Di samping itu, kita juga dapat
menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang kolusi dan
korupsi, yaitu: “Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- melaknat orang
yang memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok dan perantara keduanya
(calo).”
Lebih
jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ‘Addiy bin
‘Umairah al-Kindy sebagai berikut, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara
kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara),
kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum,
berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari
kiamat nanti. Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya,
sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia
terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa
saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya
(kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.”
Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’
Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim,
an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Dalam
waktu yang sama, Allah swt melarang hambanya memakan harta atau hak orang lain
secara tidak sah, apakah melalui pencurian, rampok, pemerasan, pemaksaan, dan
bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt menyatakan dalam al-Qur`an:
“Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil”.
(al-Baqarah 188, dan An-Nisa`: 29).
Larangan
(nahy) dalam ayat di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta orang
lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak hukumnya haram. Pelakunya
diancam dengan dosa. Islam sebagai agama eskatologis, mengajarkan kepada semua
umatnya untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dalam QS Al Maidah:42,
disebutkan bahwa memakan harta korupsi sama dengan memakan barang haram.
Sanksinya secara sosial; dikucilkan dari masyarakat, serta kesaksiannya tidak
lagi diakui. Bahkan, seorang koruptor secara moral dalam etika Islam diharapkan
dikenai sanksi sebagai orang yang tercela dan tidak disholatkan jenazahnya
ketika mati. Berdasarkan tafsir dan Fiqih, korupsi dapat mencegah pelakunya
masuk surga. Bahkan lebih dari itu, korupsi dapat menjerumuskan pelakunya ke
dalam neraka. Hal ini karena harta hasil korupsi termasuk suht
(melincinkan kepentingan kolega). Harta korupsi juga akan membebani pelakunya
di hari kiamat karena korupsi termasuk ghulul (khianat).
SANKSI KORUPSI
Tindak
korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu,
tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau
perbuatah salah disebut jinayah atau – lebih tepat disebut – “jarimah“.
Jarimah merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Jadi jarimah merupakan
tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa,
harta, keturunan, dan akal. Jarimah tersebut bisa diancam dengan
hukuman had atau ta’zir. Perbedaan antara had
dan ta’zir: had adalah sanksi hukum yang ketentuannya sudah
dipastikan oleh nash, sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Apa
yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak
lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan
kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik,
kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’
harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Adapun Jenis sanksi yadi
berikan ada empat, yaitu: pertama, al-’Uqubah al-Asliyyah yaitu
hukuman yang telah ditentukan dan merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas
dan hudud. Kedua, al-’Uqubah al-Badaliyyah yaitu
hukuman pengganti. Hukuman ini bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman
primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum yang sah seperti diyat
atau ta’zir. Ketiga, al-’Uqubah al-Tab’iyyah yaitu
hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti hukuman pokok atau primer
tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti hilangnya mewarisi karena
membunuh. Keempat, al-’Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman
tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri seperti
menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al-’Uqubah al-Ashliyyah.
PENUTUP
Penyebab
dari pada munculnya korupsi ditengarai oleh tiga prilaku terbesar yaitu materialistik,
kapitalistik, dan hedonistik. Ketiga sifat ini akan siap siaga
mengantarkan ummat manusia untuk menghalalkan segala macam cara agar
mendapatkan harta berlimpah. Dengan harta yang berlimpah ini pun tidak pernah
merasa puasa dan cukup, selalu kehausan dan kekurangan setiap saat. Sudah punya
mobil satu maka ingin punya mobil dua, sudah punya mobil dua maka ia pun
berhasrat untuk memiliki tiga dan seterusnya, akibatnya apapun dilakukan untuk
mendapatkannya termasuk di dalamnya dengan melakukan korupsi yang jelas-jelas
menyengsarakan rakyat dan negara.
Oleh
karena itulah maka Nabi Saw memperingatkan kepada yang haus akan harta melalui
sabda beliau: “Celakah hamba dinar dan hamba dirham, hamba permadani, dan
hamba baju. Apabila ia diberi maka ia puas dan apabila ia tidak diberi maka
iapun menggerutu kesal”. Maka dari itu perlunya setiap individu
menumbuhkan rasa bersalah dan rasa malu. Hal ini dirasakan sangat penting sebab
para koruptor dan sebagian penduduk bangsa Indonesia telah hilang rasa bersalah
dan apalagi rasa malunya. Oleh karena itu maka perlu dilakukan upaya-upaya
untuk menumbuhkan rasa bersalah dan rasa malu ini. Hal ini dapat dilakukan
dengan pendekatan agama.
Dr. Amir Mahmud, M.Ag.
(Staff
Pengajar Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Sumber
http://fujamas.net/index.php/2012-05-29-22-50-09/kajian-islam-tematik/359-korupsi-dan-pandangan-al-quran-hadits.html