Selasa, 23 Juni 2009

SEJARAH DESA KARANGGADUNG KEC. PETANANHAN

LEGENDA DAN SEJARAH DESA KARANGGADUNG
KEC. PETANANHAN
a. Legenda Desa
Pada masa kepemimpinan Kanjeng Susuhunan Sayidin Panotogomo yang memerintah pada tahun 1601 Kerajaan Mataram menguasai wilayah brang wetan dan brang kulon ( bahasa Jawa sebelah barat dan sebelah timur ) diantaranya Kadipaten Pucang Kembar yang dipimpin oleh Hadipati Citro Kusumo , Kadipaten Bulupitu di pimpin oleh Jaka Puring dan Kadipaten Karang Gumelem . Dalam cerita ini yang menjadi lakon adalah sebagian dari wilayah brang kulon .
Pada waktu itu Hadipati Pucang Kembar mempunyai putri yang cantik jelita bernama Dewi Sulastri . Hadipati Bulupitu Raden Jaka Puring terkenal sakti mandraguna tetapi belum punya istri dan dia menderita cacat yaitu bibirnya tebal sebelah ( istilah Jawa mengrot ) dan kakinya pincang , mendengar bahwa di Kadipaten Pucang Kembar ada seorang putri cantik anak dari Hadipati Citro Kusumo maka Jaka puring ingin membuktikan dan bermaksud mempersuntingnya sebagai istri .
Dan setelah Raden Jaka Puring melihat kecantikan Dewi Sulastri ia lalu melamarnya namun belum diterima atau masih ditangguhkan karena Jaka Puring adalah seorang pemuda yang cacat maka ia disuruh menunggu dan dipersilahkan untuk tinggal sementara di Pucang Kembar.
Tidak lama kemudian datanglah seorang pemuda tampan dari Kadipaten Karang Gumelem bernama Raden Jono yang bermaksud hendak melamar pekerjaan di Kadipaten Pucang Kembar sambil mencari saudara kandungnya yang bernama Raden Wiro Kusumo , namun Sang Hadipati Citro Kusumo bingung karena tidak ada pekerjaan untuk Raden Jono bersamaan dengan itu putri Sang Hadipati Citro Kusumo yaitu Dewi Sulastri melihat pemuda tampan itu maka tertarik hatinya dan mengajukan usul kepada Kanjeng Romonya ( bahasa Jawa Ayah ) agar Raden Jono diterima bekerja di Kadipaten Pucang Kembar . Akhirnya Sang Hadipati menerima Raden Jono sebagai juru taman di Kaputren Dewi Sulastri . Karena sering bertemu antara Raden Jono dan Dewi Sulastri saling jatuh cinta ( Pepatah Jawa mengatakan , ” Witeng Tresno Jalaran Soko Kulino ” ).
Sementara dalam penantiannya Raden Jaka Puring sudah jemu menunggu jawaban dari Dewi Sulastri . Ia merasa curiga dengan hubungan Dewi Sulastri dan Raden Jono maka sambil menunggu jawaban dari Dewi Sulastri , Raden Jaka Puring menyuruh Pangeran Usmono Usmani ( adik Dewi Sulastri ) untuk mengawasi gerak-gerik Dewi Sulastri dan Raden Jono . Berdasarkan pengamatannya , Pangeran Usmono Usmani melaporkan bahwa Dewi Sulastri telah menjalin cinta dengan Raden Jono . Mendengar laporan itu Raden Jaka Puring merasa tersinggung dan mengambil kesimpulan bahwa dirinya ditolak karena Dewi Sulastri berpacaran dengan Raden Jono . Jaka Puring marah dan terjadilah perang antara Raden Jono dan Raden Jaka Puring .
Singkat cerita pertempuran yang tidak seimbang itu membuat Raden Jono kalah dan lari mencari perlindungan ke Pesanggrahan Pring Ori ( kelak bernama Desa Ori di wilayah Kecamatan Kuwarasan ) . Raden Jono minta perlindungan pada Kyai Karyadi dan disuruh sembunyi di dalam lumbung dan di tutup pakai kapuk ( kapas ) , tidak lama kemudian Raden Jaka Puring sowan pada Kyai Karyadi dan menanyakan keberadaan Raden Jono namun sang Kyai membohonginya dan mengatakan bahwa Raden Jono tidak berada di pesanggrahan Pringori . Jaka Puring lalu pulang kembali ke Kadipaten Bulu Pitu
Setelah Jaka Puring pergi maka Raden Jono dikeluarkan dari lumbung dan ditanya apa sebabnya Raden Jono dikejar-kejar oleh Raden Jaka Puring . Raden Jono menceritakan pada Kyai bahwa perjalanannya ke Pucang Kembar untuk melamar pekerjaan sambil mencari saudara kandungnya Pangeran Wiro Kusumo setelah tiba di Pucang Kembar diterima sebagai juru taman dan dicintai oleh Dewi Sulastri sementara Raden Jaka Puring yang sedang menunggu jawaban dari Dewi Sulastri atas lamarannya yang sesungguhnya ditolak karena Raden Jaka Puring menderita cacat , namun karena tidak tega untuk mengatakan alasan yang sebenarnya maka lamaran atas Dewi Sulastri hanya ditangguhkan jawabannya dan dipersilahkan untuk tinggal sementara di Kadipaten Pucang Kembar sembari menunggu jawaban dari Dewi Sulastri . Tapi karena Dewi Sulastri talah jatuh cinta kepada Raden Jono akhirnya Raden Jaka Puring cemburu dan terjadi pertarungan antara Raden Jono dan Raden Jaka Puring sampai akhirnya Raden Jono kalah dan lari ke Pesanggrahan Pring Ori untuk menimba ilmu di pesanggrahan sehingga bisa mengalahkan Raden Jaka Puring dan memperisteri Dewi Sulastri .
Mendengar jawaban dari Raden Jono sang kyai memberi saran . Untuk mencapai tujuannya Raden Jono harus bersemedi ( bertapa ) di bawah pohon besar bernama Wit Benda ( Pohon Benda : bahasa Jawa ) dan pohon itu berada di daerah yang angker namun dalam melakukan semedi itu harus dengan hati yang tulus , suci dan sabar .
Raden Jono pun menurut pada kata-kata Kyai Karyadi ia pun melakukan semedi dengan sabar dan hati yang tulus dan akhirnya pertapaannya mendapatkan hasil dari yang Maha Kuasa dengan memperoleh pusaka berupa Bungkul Kencana ( keris : bahasa Jawa ) . Dan akhirnya Raden Jono pulang ke Pucang Kembar bertemu dengan Dewi Sulastri dan ternyata Raden Jaka Puring sudah berada di Pucang Kembar untuk menanyakan jawaban Dewi Sulastri atas lamarannya . Dewi Sulastri menjawab bahwa dia mau dipersunting oleh siapapun namun ia punya bebana awujud adon-adon / giri patembaya ( bahasa jawa permintaan pertarungan ) antara Raden Jono dan Jaka Puring . Maka terjadilah pertarungan sengit antar keduanya yang dimenangkan oleh Raden Jono maka dikawinkanlah Dewi Sulastri dengan Raden Jono sedang Raden Jaka Puring Lari dan pulang ke Bulu Pitu .
Bersamaan dengan itu Hadipati Pucang Kembar mendapat surat mandat ( nawala ) dari Susuhunan Sayidin Panatagama ( Raja Mataram ) untuk memberantas gerombolan berandal di Gunung Tidar. Akhirnya Hadipati Pucang Kembar Citro Kusumo memerintahkan menantunya sebagai bukti pengabdiannya untuk memberantas berandal di Gunung Tidar atau sebagai Duta Pamungkas. Maka walupun dengan perasaan berat meninggalkan Dewi Sulastri Raden Jono berangkat menjalankan tugas sebagai Duta Pamungkas dari Susuhunan Sayidin Panatagama ( Raja Mataram ) ke Gunung Tidar sebagai bukti pengabdian kepada mertua dan negara . Mendengar berita bahwa Raden Jono diberi mandat untuk menjadi Duta Pamungkas Raden Jaka Puring yakin bahwa Raden Jono pasti gugur melawan gerombolan berandal di Gunung Tidar maka Raden jaka Puring menuju ke Pucang Kembar untuk menemui dan merebut Dewi Sulastri .
Dalam keadaan Dewi Sulastri sendiri tanpa suami dipaksa oleh Raden Jaka Puring untuk mengikuti kemauan Raden Jaka Puring menjadi istrinya . Sebagai seorang istri yang setia kepada suami Dewi Sulastri tidak mau menghianati Raden Jono maka akhirnya Raden Jaka Puring membawa lari dengan paksa Dewi Sulastri keluar dari kaputren . Sementara itu Raden Jono sampai di Gunung Tidar menjelang malam dan menunggu munculnya gerombolan berandal . Setelah malam datang akhirnya gerombolan pengacau itu muncul dan bertarunglah Raden Jono melawan gerombolan yang terkenal bengis dan sakti mandraguna namun dengan kesaktian dan niat suci pengabdiannya kepada negara dan orang tua serta berbekal Pusaka Bungkul Kencana akhirnya Raden Jono bisa mengalahkan gerombolan berandal itu dan membunuh pimpinannya dengan Bungkul Kencana . Dalam keadaan keris terhunus diperut pimpinan gerombolan itu menyebut-nyebut nama saudara kandungnya ,” Aduh , Dimas Jono dimanakah keberadaanmu lihatlah Kangmasmu ini sedang sekarat dan jauh dari saudara ”. Mendengar rintihan itu Raden Jono tersentak dan menjawab perkataan dari pimpinan gerombolan itu yang ternyat saudara kandung yang selama ini dicarinya ,” Aduh Kakangmas maafkan adikmu ini yang hanya menjalankan tugas dan ternyata yang kubunuh adalah Kangmas Wiro Kusumo , maafkan adikmu ini yang tidak tahu bahwa yang akan kubunuh adalah Kangmas Wiro Kusumo ”.
Raden Jono memeluk Raden Wiro Kusumo yang sedang sekarat dan keduanya saling bertangisan sambil bermaafan akhirnya Raden Wiro Kusumo tewas di pangkuan Raden Jono .
Betapa sedihnya perasaan Raden Jono memikirkan garis hidupnya yang harus melaksanakan tugas negara dengan meninggalkan istri tercinta dan ternyata harus membunuh kakak kandungnya sendiri .

Raden Jono pun pulang ke Pucang Kembar membawa kemenangan berselimut kesedihan karena harus mengorbankan nyawa saudara kandungnya yang selama ini sedang dicarinya demi pengabdiannya kepada mertua dan negara. Sesampai di Pucang Kembar semakin terguncang perasaan Raden Jono mendapati Dewi Sulastri telah dibawa lari oleh Raden Jaka Puring . Dalam keadaan lelah dan terguncang Raden Jono pun mengembara mencari keberadaan Dewi Sulastri menjelajah setiap wilayah sampai akhirnya tiba di pesisir selatan .
Sementara itu pelarian Raden Jaka Puring membawa Dewi Sulastri juga ke pesisir selatan . Sepanjang perjalanan Raden Jaka Puring senantiasa merayu Dewi Sulastri agar bersedia malayaninya namun rasa cinta dan kesetiaannya kepada Raden Jono tetap dipegang teguh oleh Dewi Sulastri sampai akhirnya Raden Jaka Puring kehilangan kesabarannya dan akhirnya Dewi Sulastri diikat pada sebuah pohon pandan .
Bersamaan dengan itu perjalanan Raden Jono sudah sampai di tempat itu namun sebelum ia bertemu dengan Dewi Sulastri ternyata Raden Jaka Puring telah lebih dulu melihat kedatangannya . Dengan sekonyong- konyong Raden Jaka Puring menyerangnya sehingga terjadi pertempuran yang sengit antara Raden Jono melawan Raden Jaka Puring . Dalam pertempuran itu Raden Jaka Puring terdesak dan kalah lalu melarikan diri ke arah utara . Raden Jono lalu menemui Dewi Sulastri yang masih terikat di pohon pandan . Terjadi suatu keajaiban bahwa pohon pandan tempat mengikat Dewi Sulastri berubah warna menjadi kuning sedang pohon pandan yang lain tetap berwarna hijau . Maka oleh Raden Jono tempat itu diberi nama Pandan Kuning ( kelak menjadi Pesanggrahan Pandan Kuning ).
Keajaiban kembali terjadi , setelah Raden Jono melepas ikatan Dewi Sulastri mereka lalu ditemui oleh Nyi Roro Kidul ( Ratu Pantai Selatan ) dan bidadari dari kayangan Dewi Nawang Wulan . Oleh Nyi Roro Kidul Dewi Sulastri disuruh pulang ke Pucang Kembar dengan perlindungan dari Nyi Roro Kidul dan Dewi Nawang Wulan . Sedang Raden Jono disuruh mengejar raden Jaka Puring ke arah utara . Perjalanan Raden Jono mengejar Raden Jaka Puring ke arah utara masuk ke sebuah hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon gadung penuh duri sebagai tempat persembunyian Raden Jaka Puring .
Disetiap langkahnya Raden Jono kesrimpet-srimpet wit gadung ( bahasa Jawa terhalang pohon gadung ) hampir di setiap pori-pori kulitnya terselip duri gadung hingga darah bercucuran maka alas atau hutan itu oleh Raden Jono dinamakan Karanggadung ( kelak menjadi desa Karanggadung ) .
Pelarian Raden Jaka Puring terus ke arah utara namun Raden Jono kehilangan jejak maka langkahnya menjadi ragu-ragu selangkah berhenti lalu melangkah lagi dan berhenti lagi sambil dia menengok mau terus ke utara atau ke selatan atau ke barat atau ke timur . Langkahnya yang mandeg mangu ( ragu-ragu ) itu membuat Raden Jono memberi nama tempat dengan nama ” Manga-mangu ” yang artinya perasaan ragu-ragu ( kelak menjadi desa Munggu ) . Namun akhirnya raden Jono memutuskan untuk mengejar ke arah utara sehingga mereka bertemu dan kembali terjadi pertarungan antar keduanya dan masing-masing membuat benteng pertahanan ( kelak dikenal sebagai ” Beteng ” dan ” Pertahanan ” ) dalam perkembangannya wilayah itu bernama Petanahan / kelak menjadi desa Petanahan dan bekas bentengnya terkenal dengan nama ” Beteng ” .
Mereka terus bertarung sambil kejar-kejaran hingga sampai pada suatu tempat merasa kehausan dan hendak minum namun airnya berbau banger ( bahasa Jawa busuk ) yang konon dikarenakan bangkai manusia yang mati dan tidak dikubur dengan keajaiban hidup kembali ( pada urip , berasal dari bahasa Jawa ) dan tempat itu diberi nama Grumbul Banger Desa Padaurip ( kelak menjadi desa Padaurip ) .
Aksi kejar-kejaran itu terus ke arah utara sampai pada suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon Jati dan kehidupan masyarakatnya mulya ( sejahtera ) sehingga tempat itu dinamai Jatimulya ( kelak menjadi desa Jatimulya ) .
Kejar - kejaran dan pertarungan itu terus berlanjut ke utara sampai pada tempat / pekarangan yang banyak ditumbuhi wit gedang ( bahasa jawa pohon pisang ) lalu tempat itu diberi nama Karanggedang ( kelak menjadi Desa Karanggedang ) .
Dari Karanggedang mereka berlari kearah barat melewati sebuah sungai yang ditepi sungai itu banyak orang sedang memandikan (guyang ) hewan sehinga tempat itu dinamakan Guyangan.
Pengejaran dan pertarungan masih terus berlanjut kearah barat melewati sebuah grumbul atau alas yang berupa rumput alang- lang yang luas maka tepat itu diberi nama ” Alang – alang amba ” Kelak menjadi Desa Alang – alang Amba .
Pengejaran dan pertarunganpun terus berlanjut kearah selatan dalam keadaan sangat letih dan lemah mereka masih bisa bertahan hidup maka tempat itu diberi nama ” Kuwarasan ”. Merekapun terus bertarung dan saling mengejar menuju arah selatan sampai mereka berdua merasa kesal sendiri dan muring – muring ( bahasa Jawa marah –marah ) sambil istirahat Raden Jono memberi nama tempat itu ”Puring ”( Kelak menjadi pasar Puring ) .Walaupun dalam keadaan lelah dan letih Jaka Puring masih terus berusaha lari dan mencari hidup dan terus berlari ke selatan sampai di kisik / pesisir samudra yang tanahnya wedi ( bahasa jawa pasir ) yang setiap dilewati atau sepanjang kaki melangkah wedinya gugur alias ambruk maka tempat itu diberi nama ” Wedi Gugur ” kelak menjadi Pesanggrahan Wedi Gugur.
Raden Jaka Puring terus berusaha menghindar dari kejaran Raden Jono menuju kearah barat sampai akhirnya terjadi pertarungan lagi yang sangat sengit dan saling mengeluarkan kadigdayan ( kekuatan ) dan Raden Jaka Puring tersungkur sehingga tangan yang hendak diarahkan ke Raden Jono akhirnya mengenai karang sampai tembus / bolong sehingga tempat itu diberi nama Karangbolong , namun Raden Jaka Puring masih berusaha lari ke utara sampai akhirnya kehabisan tenaga sehingga tergelincir ke sungai dan pada kesempatan itu Raden Jono menghunus pusaka Bungkul Kencono dan menancapkanya ke tubuh Raden Jaka Puring dan terjadilah suatu keajaiban Raden Joko Puring berubah menjadi Buaya putih dan melontarkan sumpah serapah kepada Raden Jono bahwa dia menerima kekalahanya tidak bisa memperistri Dewi Sulastri dan menerima karma menjadi buaya putih namun bersumpah bahwa setiap keturunan Raden Jono yang memakai pakaian sama dengan yang dipakai oleh Dewi Sulastri akan menjadi mangsa / dimakan oleh buaya putih, Pakaian itu adalah mbayak ijo gadung ( Kebayak ), Jarit Amba Lurik ( Kain / tapih ) dan benting tritik ( stagen ). Atas kejadian itu oleh Raden Jono tempat itu diberi nama ”Buayan” kelak menjadi Kecamatan Buayan.
Dengan rasa letih dan tubuh yang penuh luka Raden Jono Pulang ke Pucang Kembar membawa perasaan suka cita atas kemenangannya melawan Raden Joko Puring dan perasaan rindu ingin segera bertemu Dewi Sulastri . Suasana penuh haru meliputi Kadipaten Pucang Kembar saat pertemuan antara Raden Jono dan Dewi Sulastri beserta keluarga kadipaten. Akhirnya Raden Jono di nobatkan sebagai Hadipati di Pucang Kembar.

Sumber RPJMDes Desa Karanggadung.

4 komentar :

  1. wah mengharukan....!!!
    M aji sejarahku besok d posting juga ya!!thanks

    BalasHapus
  2. mas, Kadipaten Pucang itu sekarang diKedung Puji, petilasannya masih ada di jalan balai desa, ada sebuah rumah yang konon dulunya adalah rumah belakang dari Kadipaten Pucang.
    Mas Aji Rumah di kedungpuji itu di Foto aja untuk ilustrasi, masih lumayan asli.....

    BalasHapus
  3. Niat saya untuk konfirmasi. Menurut kami wiro kusumo bukan berandal seperti versi mataram. Tetapi beliau lurah prajurit yang ditugaskan di daerah perbatasan perdikan mataram (1,5 jam berkendara.. dàri lokasi beliau wafat)... karena bnyk berandal yang kalah dan menjadi pengikut mataram kawatir beliau akan makar.. sehingga fitnah itu terdengar... beliau marah ... kemudian menuju loano untuk memprovokasi mataram... (panjang ceritane..).. benar beliau wafat di tidar oleh jono kusumo yang membawa gandik kencono dan mengenai kepalanya..
    Mohon jika ada info lebih tentang beliau saya di kasih informasi... kami masih mengumpulkan puing sejarah kami di sini. Matur nuwun.... by. Arya kusumo

    BalasHapus